GNOME yang Jelek atau Akhlak Kalian yang Buruk?

GNOME 3.28 beberapa waktu lalu baru rilis, cukup memancing banyak komentar. Tanggal 26 April kemarin, Ubuntu 18.04 meluncur dengan menyertakan GNOME 3.28 sebagai Desktop Environment baku. Unity sudah tidak dipergunakan lagi, mungkin tim Ubuntu sudah lelah.

Berawal dari move on-nya si Ubuntu, banyak penggemarnya kecewa, dan merasa GNOME itu jelek, tanpa bisa menunjukkan kejelekannya. Mari kita mundur beberapa waktu lalu.

 

Awal muncul GNOME 3, saya termasuk orang yang tidak suka, antar mukanya aneh. Lebih nyaman dan sederhana GNOME 2. Saya yang saat itu masuk di tim pengembang BlankOn, bersama rekan-rekan membedah kejelekannya sehingga muncullah bibit-bibit pemberontakan dengan dimulainya BlankOn Panel yang berujung pada Manokwari.

Manokwari sendiri perlu dibuat karena kedepannya, semua pustaka GNOME 2 akan ditinggalkan dan beralih ke GNOME 3. Tapi saya dan teman-teman tidak siap untuk sepenuhnya menggunakan GNOME 3 karena beberapa kejelekannya.

2014, saat GNOME Asia di Beijing, saya ngomong sendiri bahwa GNOME jelek ke pimpinan desainer UI/UX, Allan Day, dan berujunglah diskusi panjang. Saya pasti kalah sama mereka dalam hal penjelasan, saya cupunya minta ampun. Tapi saya menang dengan menceritakan bahwa GNOME 3 membutuhkan sumber daya komputer cukup besar (misal RAM 1 GB) di mana masyarakat Indonesia tidak banyak yang bisa memenuhinya. Sedangkan Manokwari, bisa bekerja (waktu itu) pada RAM 256 MB. Toh Manokwari masih menggunakan pustaka GNOME.

Sekitar 2011, Ubuntu merilis Unity, banyak yang komplain dan gak nyaman. Pindah ke KDE juga takut gengsinya turun lantara KDE di masa itu (sampai masa kini sih) mirip MS Windows dan banyak kutu (sekarang udah jauh mendingan).

Kita terbiasa ngedumel dan menjelek-jelekkan tanpa bisa menunjukkan apa yang bisa dilakukan untuk memperbagus hal tersebut. Mental kita lebih banyak sebagai pencela dari pada penebar “Rahmatan Lil Alamin”.

Saya dulu, mantab pindah ke GNOME 3.x saat memiliki layar dengan resolusi di atas FHD (3K) dan layar sentuh. Banyak perabotan GNOME bisa berfungsi dengan baik, seperti:

  • di Yoga 3 Pro, di layar ada logo jendela, saat disentuh, akan bisa menampilkan Activities. Pada DE lain tidak bisa
  • di layar sentuh, on screen keyboard sangat mudah tampil saat kita merasa memerlukannya (atau pada tablet mode). Tentunya hal ini tidak terjadi jika komputer kalian masih konvensional.

Jadi, sebelum mencela GNOME, lebih baik kopdar, ngopi-ngopi dulu dengan teman-teman komunitas GNOME. Saya traktir!

Catatan: saya belum nemu orang komplain dengan DE-nya Endless OS. Kalau komplain terkait tidak bisa booting dan sampai mencela saya tidak beretika sih ada.

5 thoughts on “GNOME yang Jelek atau Akhlak Kalian yang Buruk?

  1. entah kenapa di ubuntu 17.10 gnome-nya resource hog… RAM sama CPU tinggi .. tapi pas saya pakai turunan ubuntu (dengan Gnome juga) pop_os! (buatan system76). semoga bug Ubuntu dengan gnome yg dikostumasi-nya sudah tidak resource hog lagi…

    jujur saya mah gak terlalu fanatik sama unity dan gnome kostumasi-nya sudah bikin kita familiar dengan ubuntu. untuk kenang-kenangan saya simpan ISO-ISO linux yg sekarang sudah berubah, seperti Blankon gnome 2, Linuxmint KDE terakhir, sama ubuntu unity 17.04 :mrgreen:

  2. Enaknya FOSS itu penuh kebebasan, dalam artian kebebasan memilih, atau membuat pilihan. Ketika kamu tidak suka arah pengembangan aplikasi anu, kamu boleh mem-fork, atau membuat aplikasi tandingan yang menurutmu pas. Contoh : Lahirnya GNOME3, lahirlah MATE. Dst dst.

    Kini pilihan DE di Linux buanyak sekali. Kalau ndak suka Gnome Shell, ada Budgie. Ada MATE. Ada XFCE, ada LXDE, ada juga KDE.

    Mari berdamai dan tumbuh bersama.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s