Gresik
Gresik adalah kota kelahiran saya, kurang lebih 28 tahun lalu di akhir tahun. Kota yang dulunya Kabupaten Surabaya (Daerah Tingkat 2) namun sekarang menjadi kabupaten tersendiri, yaitu Kabupaten Gresik. Daerah yang menurut saya serba nanggung karena selalu terbayang-bayangi Surabaya, kota pahlawan sekaligus kota terbesar nomor dua di Indonesia.
Di Gresik ini saya mengenyam pendidikan sejak TK sampai SMA. Hidup bersama orang tua sekaligus belajar bagaimana bekerja sejak dini. Mulai dari bantu-bantu tetangga jadi tukang pembungkus dagangan, bantu-bantu paman jadi tukang ikat barang, penjual majalah sampai tukang antar tagihan telkom.
Beberapa minggu lalu, saya pulang dari Banda Aceh. Lebih dari 2 tahun saya tidak berkunjung ke Gresik. Kesan pertama waktu pulang adalah bingung. Bingung jalan pulang ke rumah. Karena terjadi perubahan jalan serta pelebaran dan tentunya, bentuk-bentuk rumah para tetangga sekitar juga berubah. Kurang lebih sepanjang 500 meter saya meneliti satu persatu, apakah benar jalan yang saya ambil untuk kembali ke rumah. 🙂
Beberapa hari saya tinggal di Gresik dan melihat-lihat kondisi di kampung. Memang terasa banyak perubahan. Terutama banyak orang yang menurut saya masih muda namun memiliki wajah tua. Mungkin karena pola pikir dan kehidupan masyarakatnya yang menyebabkan mereka jadi cepat tua.
Di kampung saya, banyak mata pencaharian yang sama. Sekitar 2 RT adalah produsen makanan ringan (jajanan), termasuk orang tua saya. Beberapa pemuda bekerja sebagai agen kue, tukang ojek, pekerja pabrik dan selebihnya pengangguran. Tingkat pemuda yang lulus kuliah tidak lebih dari 20% seluruh jumlah pemudanya.
Persaingan hidup terasa banget di Gresik. Mungkin karena iklim metropolitannya. 🙂
Tuban
Setelah kuliah D1 di sebuah kampus swasta di kota Malang, saya belajar hidup di kota Tuban. Bermodal uang 15 ribu dan menumpang hidup di keluarga kawan. Dan belajar memulai usaha bersama. Membuat rental dan pengetikan komputer.
Kota Tuban adalah kota kecil, tidak sebesar dan seheboh Gresik. Kota ini terletak di jalur pantura pulau Jawa dan berdekatan dengan Jawa Tengah. Kota ini menurut saya tidak terlalu berisik dan sangat bersih. Mungkin selama saya pergi-pergi ke beberapa kota, Tuban adalah kota yang terbersih. Mungkin karena Bupatinya seorang wanita sehingga rasa kewanitannya banyak menginspirasi kepemimpinannya. Selain bersihnya, banyak bangunan/gedung pemerintahnya berkesan wah dan megah.
Di kota Tuban ini saya belajar hidup, belajar menghargai orang, bermasyarakat serta bergaul dengan banyak teman. Di kota ini juga saya menikah dan belajar berkeluarga serta tinggal kurang lebih 5 tahun sebelum akhirnya pindah ke Banda Aceh.
Beberapa minggu kemarin dan hari ini saya kembali mengunjungi kota Tuban. Melihat kondisi dan kabar kawan-kawan lama. Tidak banyak perubahan, termasuk wajah-wajah kawan-kawan dan orang-orang yang saya kenal. Rasanya tidak bertambah tua. Berbeda dengan kondisi di Gresik. Mungkin di Tuban kawan-kawan memiliki rasa ‘nrimo ing pandum’ lebih baik dari yang di Gresik.
Saya pribadi lebih merasa nyaman tinggal di sini dari pada kota lain. Mungkin karena banyak kawan, kenalan, serta tidak terlampau jauh dari kota besar seperti Surabaya maupun Semarang, bahkan Jakarta. Ya, selagi tinggal di Jawa, jarak antar kota besar tidak begitu terasa. Beda dengan daerah di luar Jawa.
Banda Aceh
Membandingkan sebuah kota luar Jawa dengan Jawa adalah hal yang bener-bener tidak seimbang menurut saya. Di sini saya hanya menceritakan beberapa hal yang saya ketahui.
Bagi sebagian orang, Banda Aceh mungkin seperti Kabul – Afghanistan atau Baghdad – Irak. Saya tidak berbohong, karena saya pernah beberapa kali ngobrol dengan orang dan mereka selalu menanyakan situasi keamanan di Banda Aceh (Aceh). Kenyataannya, Banda Aceh/Aceh adalah tempat yang aman. Jarang terdengar ada premanisme atau kasus kecopetan. Di terminal-terminal bis atau di angkutan, kita akan merasakan kenyamanan karena tidak takut akan barang hilang tercopet atau dirampas. Sopir-sopir angkutan seperti L300 pun bisa dipercaya. Banyak masyarakat setempat menitipkan uang untuk diberikan ke sanak saudara di kota lain.
Infrastruktur seperti jalan raya, bangunan dan keadaan masyarakat di Banda Aceh cukup bagus dan baik. Walaupun menurut saya Gresik lebih baik dan lebih ruwet. Banyak perbedaan-perbedaan gaya hidup antara di Banda Aceh dengan kota lain seperti Gresik ataupun Tuban. Tentunya mungkin karena harga di Banda Aceh lebih mahal dan tingkat belanja orang Banda Aceh lebih ‘berkelas’. Ya, berkelas, mereka tidak mau beli barang murah meriah.
Hal menarik lainnya dan khas adalah banyaknya ‘warkop’ di penjuru Banda Aceh. Warkop di Banda Aceh bukan warkop seperti di pulau Jawa. Warkop di Banda Aceh adalah sebuah warung kopi besar, memiliki layar/proyektor yang nyala setiap saat, koneksi internet gratis dan tentunya menyediakan kopi Aceh dengan cara yang khas. Gampangannya, di Banda Aceh warung kopi, kalau di Jawa kita menyebutnya Kafe.
Ada beberapa hal yang saya merasa kurang di Banda Aceh, seperti toko buku Gramedia, indomart atau alfamart, ramayana, dan beberapa brand lain. Entah kenapa kok tidak ada tapi yang jelas Banda Aceh lebih dari cukup untuk ada toko-toko seperti itu. Toh pizza hut, kfc juga ada. Hahaha.
Hal lain yang menarik adalah syariat Islam, yang tentunya tidak ada duanya di daerah lain di Indonesia. Saya secara pribadi setuju dengan penerapan syariat Islam. Dan berharap di Banda Aceh penerapannya tidak hanya sebatas aurat dan adil antara perempuan dan laki-laki.
Dari syariat Islam tersebut, kita ndak perlu khawatir kalau ingin berkunjung ke Banda Aceh. Pencitraan kalau Aceh itu rawan konflik hanya sebatas isu belaka. So, visit Aceh. ^_^
Takengon
Takengon adalah ibukota Kabupaten Aceh Tengah. Kota yang terletak di dataran tinggi (daerah kotanya kurang lebih 1300 dpl). Kota yang cukup plural menurut saya karena banyak suku bertempat tinggal di Takengon.
Kesan pertama saya di kota ini adalah dingin. Ya, suhunya cukup dingin. Serasa seluruh kota diselimuti Air Conditioner dan kalau malam, saya tidak pernah melepaskan jaket sebagai penahan hawa dingin.
Di Takengon ini, orang yang seperti saya yang notabene susah makan karena teringat masakan khas Jawa, akan mudah menemukannya. Karena di Takengon banyak suku Jawa hidup berdampingan dengan suku Aceh, suku Batak serta suku Gayo yang native. Aceh sebetulnya ada beberapa suku, salah duanya adalah suku Gayo yang berdiam di dataran tinggi.
Takengon memiliki danau vulkanis yang kurang lebih panjangnya 18 km dan lebarnya 4 km. Ada spesies ikan endemik bernama Ikan Depik. Ikan kecil-kecil yang biasa disajikan dalam makanan sehari-hari. Namun karena saya dari dahulu kurang seberapa suka dengan lauk berjenis ikan, saya tidak memperhatikan banyak tentang jenis-jenis ikan yang ada di Takengon.
Hal yang paling saya suka di Takengon adalah iklim dingin dan buah yang ada di sana. Nanas Takengon adalah buah favorit ketika saya tinggal di sana. Hampir seminggu 2 kali saya makan nanas bersama dengan teman-teman. Nanasnya lebih segar dan besar. Salah satu kawan saya bahkan mengira nanas yang dihidangkan tersebut udah dicampur dengan susu. Sebegitukah beda rasanya ?
Kondisi kotanya sendiri kalau dibandingkan dengan 3 kota di atas pasti halah. Bukan niat membandingkan sih, tapi sebagai gambaran, salah satu gedung kecamatan di kabupaten Tuban sama bagusnya dengan kantor bupati Aceh Tengah. Mungkin karena pendapatan daerahnya yang menurut saya minim karena tidak terjamah industri besar. Dan mungkin lebih baik begitu.
Takengon adalah kota yang indah pemandangan alamnya. Namun sayangnya, ketika di sana, saya dan banyak teman saya bingung mau kemana dan mau melakukan apa. Mentoknya ya touring keliling danau. Pernah beberapa waktu terbersit mau membawa motor cross (inventaris kantor) ke Takengon untuk jalan-jalan ke daerah-daerah lebih dalam, namun kesempatan ternyata tidak berpihak.
Beberapa kali saya mengajak teman-teman dari Taiwan untuk berkunjung ke Takengon dan secara tidak langsung saya jadi penunjuk jalan dan kadang juga sedikit menjelaskan tentang apa-apa yang ada. Terus terang susah juga karena dari dinas terkait tidak ada katalog pariwisata yang mudah untuk dibaca meskipun dalam bahasa Indonesia. Mungkin dinas terkait perlu studi bunding ke daerah Bogor yang beberapa bulan lalu saya sempat mengunjungi tempat wisata yang menghubungkan antara wisata dan pemberdayaan masyarakat setempat. Tapi ini opini pribadi saya yang belum tentu benar.
Kalau sempat ke Aceh lagi, Takengon adalah tempat yang indah untuk dikunjungi.
🙂